TEKNOLOGI PASCAPANEN JAGUNG DENGAN SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN DOMPU, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT



Provinsi Nusa Tenggara (NTB) mempunyai luas wilayah mencapai 2,01 juta hektar dengan 84 persen atau sekitar 1,80 juta hektar adalah lahan kering. NTB merupakan daerah yang mempunyai lahan kering terluas kedua di Indonesia setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kondisi seperti ini membuat lahan kering belum dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah NTB memiliki program unggulan yaitu program peningkatan produksi Sapi, Jagung, dan Rumput Laut atau lebih dikenal PIJAR. Program ini sudah terlihat hasilnya dengan meningkatkan luas tanam, produktivitas, dan produksi, khususnya jagung pada tiap tahun. (PEMDA NTB 2009).

Kabupaten Dompu merupakan kabupaten bagian dari Provinsi NTB yang sejak tahun 2011 telah mengimplementasikan gerakan pengembangan sapi, rumput laut, dan jagung hampir di seluruh kecamatan. Komoditas jagung dijadikan icon dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan menyejahterakan masyarakat dalam kemandirian serta mengurangi kemiskinan dengan luas tanam dan luas panen dapat dilihat di Tabel 1. Sektor pertanian di Kabupaten Dompu merupakan sumber pendapatan daerah yang sangat besar peranannya yaitu mengarah pada pemantapan swasembada pangan, memperluas penganekaragaman produksi, meningkatkan ekspor, dan mendorong perluasan kesempatan kerja dalam memacu pembangunan daerah. Secara umum tujuan pembangunan sektor pertanian adalah untuk meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan petani yang sebagian besar di daerah pedesaan (Sudarto et al. 2013).

Tabel 1 Data luas panen, produksi, dan produktivitas jagung di Kabupaten Dompu
Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2012
27.905
153.305
5,49
2013
21.593
124.331
5,75
2014
29.512
187.125
6,34
2015
29.813
218.855
7,34
2016
34.851
224.101
6,43
Sumber: KEMENTAN 2018

Produksi jagung yang dipasarkan oleh petani hanya sampai pada pedagang besar selaku Pedagang Antar Pulau (PAP). Pedagang besar memasarkan pada konsumen pabrik pakan yang berada di luar Provinsi NTB. Pola saluran pemasaran jagung yang digunakan, yaitu: 1) petani-makelar-pedagang besar-konsumen pabrik pakan, 2) petani-pedagang besar sampai kepada konsumen pabrik pakan, dan 3) petani sampai tengkulak dan pedagang besar sampai konsumen pabrik pakan. Saluran pemasaran yang banyak dilakukan oleh petani adalah saluran ke dua yaitu sebesar 78 ton (Sari 2013). Struktur pasar jagung yang berlangsung di NTB belum efisien yang ditunjukkan oleh pasar jagung yang cenderung mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (oligopsoni) yang menunjukkan bahwa pedagang memiliki tingkat kekuasaan yang besar dalam mempengaruhi pasar. Hal ini juga terlihat dari perilaku pasar yang menunjukkan bahwa pedagang besar merupakan lembaga pemasaran yang dominan dalam menentukan harga jagung di NTB. Di lain pihak, kelompok tani dalam kegiatan pemasaran jagung kurang berfungsi. Hal ini dikarenakan adanya kegiatan penjualan jagung oleh petani yang tidak dilakukan secara berkelompok menyebabkan harga di tingkat petani lemah.

Permasalahan yang dihadapi oleh petani adalah :1) Kurang stabilnya harga jagung sehingga kondisi ini sering merugikan petani, pemasaran produksi belum dapat menjual langsung kepada pedagang besar (eksportir). Petani umumnya menjual hasil jagung hanya ke pedagang pengumpul atau ke pasar sehingga harga diterima petani relatif rendah dan fluktuatif. Keadaan ini kurang menguntungkan bagi petani, sebab tidak adanya jaminan harga. Berdasarkan data perkembangan harga jagung pada bulan September sampai November merupakan puncak harga jual tertinggi sehingga kebutuhan (konsumsi) lebih besar dibanding produksi menyebabkan harga jagung naik. Periode tersebut puncak paceklik sehingga harga jagung tinggi. Dalam periode Januari-April, produksi lebih tinggi dari kebutuhan sehingga terjadi kelebihan produksi menyebabkan harga jagung cenderung turun, 2) Petani dalam pengelolaan pasca panen masih kurang pengetahuan yang berpengaruh pada kualitas biji jagung  yang dimiliki masih relatif rendah sehingga kalah bersaing dipasar. Proses pengeringan jagung memegang peranan penting untuk mendapatkan kualitas yang sesuai dengan permintaan konsumen. Kadar air rendah makin tinggi persentase butir utuh. Petani di beberapa wilayah telah melakukan proses pengeringan sekaligus penyimpanan di atas para (tempat yang terbuat dari bambu yang diletakkan diatas dapur). Upaya ini tampaknya cukup berhasil untuk mengurangi terserangnya jagung oleh hama/penyakit selama penyimpanan, namun usaha ini hanya dapat dilakukan dalam skala kecil, 3) Kondisi geografis NTB yang berbentuk kepulauan berpengaruh pada transportasi dan infrastruktur untuk membawa antar pulau dengan menyeberang lautan untuk sampai pada eksportir berada diluar pulau. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya biaya pengangkutan yang pada akhirnya dibebankan pada harga ditingkat petani atau penurunan harga beli, 4) Keterbatasan modal usaha untuk petani. Faktor permodalan menjadi salah satu kunci strategis untuk mendinamisasi jaringan kelembagaan agribisnis jagung di Indonesia, 5) Belum adanya sistem resi gudang di Kabupaten Dompu, karena resi gudang berperan penting dalam penyimpanan hasil panen petani dengan baik. Selama ini petani hanya menyimpan jagung di rumah mereka, sehingga petani kurang mengetahui efek penyimpanan jagung dalam jangka waktu lama di tempat yang kurang memadai.

Solusi yang dapat di tawarkan dari beberapa permasalahan diatas adalah sebagai berikut: 1) Pemerintah menetapkan harga pokok penjualan jagung sehingga petani tidak merasa rugi, 2) Melakukan perubahan kebiasaan dalam melakukan pascapanen jagung seperti pengeringan yang sesuai kadar air penyimpanan jagung sehingga penyimpanan dalam gudang tidak mudah rusak, karena akan mempengaruhi harga jual, 3) Mendirikan dan memperkuat kelembagaan petani jagung, sehingga ada posisi tawar kepada tengkulak semakin kuat, 4) Pemerintah memberikan bantuan modal kepada petani jagung dengan sistem bantuan pinjaman uang dengan bunga ringan, 5) Menawarkan kepada pemerintah tentang manfaat sistem resi gudang untuk penyimpanan jagung dalam skala besar, karena belum ada gudang besar yang menampung hasil panen petani. Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan instrumen perdagangan dan keuangan yang memungkinkan komoditas yang disimpan dalam gudang memperoleh pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan tanpa diperlukan jaminan biaya. Pelaksanaan SRG mengacu pada Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2011. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) (2017), melalui sistem SRG mampu mendorong petani untuk bersikap dan bertindak layaknya seorang pebisnis, karena tidak hanya meningkatkan nilai jual saja. SRG merupakan terobosan baru dalam mengurangi kerugian petani, sekaligus mengedukasi petani dalam budidaya dan pascapanen hingga penjualan hasil pertanian.



Daftar Pustaka

BAPPEBTI Badan Pengawas Perdagangan. 2017. Sistem Resi Gudang Dorong Petani Layaknya Seorang Pebisnis. Tersedia pada http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/15/sistem-resi-gudang-dorong-petani-bersikap-layaknya-pebisnis.
KEMENTAN Kementerian Pertanian. 2018. Luas panen, produksi, dan produktivitas jagung di Kabupaten Dompu. Tersedia pada https://aplikasi2.pertanian.go.id/bdsp2/id/komoditas.
PEMDA NTB. 2009. Komoditas Unggulan Nusa Tenggara Barat Sapi, Jagung, dan Rumput Laut (PIJAR). Mataram.
Sari IN. 2013. Analisis Efisiensi Pemasaran Jagung Di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sudarto, Nani H, Putu CA. 2013. Kajian Agroindustri Pembenihan Jagung Komposit Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima Nusa Tenggara Tenggara Barat. Disampaikan dalam Seminar Nasional: Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura pada Juni 2013.

Komentar